Minggu, 08 September 2013

Ibu Majikan Indonesia

eluk kota tempat lumut tumbuh
tambah banyak jadi kampung
dikolong jembatan, samping gedung gedongan
beribu mengais beras halal
tak punya bekal, hanya lulusan dasar
beribu menjajak kerikil Jakarta
tanpa alas, lecet kakimu
menghitam diatas bara
beberapa jadi budak
dipaksa mencium kaki majikan
atau lebamlah wajahmu
digada uang picik

Mati Satu

Mata mata langit
suara suara kecil
siul siul angin
lambai lambai padi
bisik gemericik air
padang benderang bulan

karat mengerat kincir
belai membuai sayang
dug dug
derek, kerek, arak
baja beton aspal
diatas wajah pribumi
kampung itu mati
siapa peduli?
suara suara kecil

lambai lambai padi
bisik gemericik air
belai membuai sayang
hilang selang sewindu
siapa peduli?

Minggu, 11 Agustus 2013

Syair Balas Budi

Terimakasih pada pembuat roti rumahan
Yang menjualnya dengan 500 perak
Hingga mampu dibeli orang lapar
Sekedar mereda perih lambung
Terima kasih pada ibu warung makan
Yang baik hati menghutangkan lauk
Hingga tenang bapak tua pada anaknya
Karena ada ikan untuk makan sehari penuh
Juga terima kasih untuk
Semua tukang insinyur
Dari kuli, tukang kayu, tukang bangunan, penambang, pencetak bata, tukang genteng.
Yang dengan tenaga membangun negeri
Dari batu pertama hingga akhir
Dan Terimakasih kepada seluruh penjaga struktur bangsa
Yang membela rakyat
Bukan budak harta, tapi hamba soleh
Atas keikhlasan yang tak ternilai

Selasa, 30 Juli 2013

Mata Waktu

Gadis desa yang manis duduk diatas batu alam. Dipuncak bukit ia menikmati angin. Perutnya sejak 2 hari lalu tidak mencerna apapun. Namun berada ditempat ini membuatnya melupakan hal itu. Kalau bukan karena cinta yang tak kunjung datang, pastilah ia segera mengisi perutnya. Tampak benar wajah cantiknya layu dan badannya kuyu,lunglai.
Ayu menanti. Menanti terlalu lama, dan membuatnya makin tertunduk. Teringat olehnya saat pria itu menenteng kardus dan tas punggung usang, menaiki kereta api yang sesak. Dengan senyum kebanggaan Ayu melambaikan tangan dan membiarkannya berlalu diatas rel panas hingga menghilang.
Kabarnya pria yang bernama Mandala itu, diterima sebagai anggota PETA. Sebuah organisasi kemiliteran milik Jepang, namun pada kenyataannya berpihak pada Indonesia. 3 tahun mereka lewati hubungan jauh antara Malang-Jakarta.
Berbunga-bunga hatinya tiap menerima surat dari Mandala yang datangnya tak menentu. Sampai suatu ketika saat Ayu menerima surat terakhir, yang mengabarkan bahwa Mandala tergabung dalam pasukan gerilya yang akan menyerang sekutu di kota Surabaya. Lalu Ayu mengirimkan sebuah selendang sutera berwarna jingga sebagai kenangan jika Mandala tak kembali.
Perang di Surabaya. Ganas. Menggempur baja dengan bambu runcing. Roda gerigi melawan kaki telanjang. Musuh menyerang dari udara, tapi para pejuang dari balik semak reruntuhan. Seluruh raga mau tak mau harusdipertaruhkan untuk melindungi para pengungsi yang kalangkabut keluar dari kota, melindungi Tanah Air, sekaligus melindungi diri sendiri. Pasukan gerilya banyak yang dibantai raksasa besi dari darat dan udara. Namun Tuhan selalu adil dengan kehendak yang mustahil. Pasukan gerilya mengusir sekutu dengan kemenangan, kemenangan yang membuka mata dunia bahwa Indonesia masih berdaulat meski mengorbankan seribu nyawa.
Diatas batu alam itu Ayu merenungi nasibnya, mengumbar khayalan liar akan impiannya. Sepoi angin yang memikat namun menusuk kulit yang mengering. Hatinya kacau hingga langkah pertama untuk kembali ke rumah harus berakhir dengan pundak mendarat terlebih dahulu. Sakit, namun tak dihiraukan.
Ia berjalan, melewati parit yang dulu sering ia lewati dengan Mandala. Tiba-tiba wajahnya tegang, badannya beku. Saat ia melihat sosok lama yang dirindunya. Didepan wajahnya, membelakangi senja matahari. Meskipun begitu, ia masih melihat tatapannya yang teduh.
Manik mata itu mengupas isi hati Ayu, menyayat pikirannya dengan sejumlah rasa bersalah. Kini Ia kembali, tangan kirinya terluka dibalut selendang jingga. Entah mengapa Ayu yang merasakan sakitnya.
“dulu sudah kurela kau ke medan parau. Dan Aku bangga kau kembali.” Lirih suaranya karena rasa sakit kian bertambah.
“tapi Aku bukan Aku yang dulu.” Kata Mandala singkat. Ia memegangi lukanya.
Rasa rindu itu kian menyiksa, dan sudah diambang normal. Terlebih kata-kata Mandala yang menancap lekat di ingatannya. Tangan putih Ayu melingkari leher Mandala. Memberikan rasa yang sudah 3 tahun ia tahan. Dibenamkan wajahnya didada pria itu, meresapi luka yang dialami Mandala agar berpindah pada dirinya.
“sudah 3 tahun, apa kau tidak rindu? Saat kita didesa, menendang-nendang air di sungai, dan duduk berdua dibawah senja?” airmatanya kian mengalir.
Perlahan udara dingin merasuk dalam tulang Ayu. Tapi ia bersikukuh tidak akan melepas Mandala untuk kedua kalinya. Hatinya sudah hancur, dan tidak akan dibiarkan hancur lagi.
Diufuk barat terdengar lagu ‘Selendang Sutera’. Entah siapa yang menyanyikan. “ini lagu untukmu.” Ucap Mandala, “Terimakasih. Terimakasih telah memberiku semangat. Hingga di medan perang Aku mati-matian menggempur, demi Tanah Air, dan demi kau. Agar kita dapat berjumpa aku kembali.”
Ayu melepas pelukannya, lalu matanya tertuju pada benda jingga setengah bulat di tempat yang tak berujung. Ia menatap jauh, kelangit diantara dua tebing. Bertahun-tahun yang lalu, Mandala adalah pria yang polos, dan mudah membuatnya tersenyum. Bertahun-tahun yang lalu, jalan tempat mereka sekarang berdiri, masih romantis. Seroja dan mawar memberikan khas permadani firdaus.
Kini situasinya berbeda. Terasa ada yang hilang. Sesuatu yang berharga dan kini baru disadari itu hilang. Hatinya masih terasa sakit. Pikirannya kacau. kebaya yang dipakainya sudah sobek dan kumal. Berhari-hari ia tidak mempedulikan dirinya. Hanya kedatangan Mandala yang membuat sadar bahwa ia masih didunia.
“ini hari sudah kunanti. Banyak yang berubah disini. Tapi lihatlah disana, matahari masih semanis dulu.” Ayu tersenyum tipis. Dan melepas pelukannya.
“dan Aku juga sudah berubah.” Mandala mengulangi kata-katanya. Namun Ayu sengaja menulikan telinganya.
“ayo kita berjalan melewati lembah itu. Sekarang jalannya sudah bagus. Dan Aku sering duduk diatas batu alam dibelakang lembah itu. Pemandangannya indah.”
Nostalgia dalam hati berdua. Mereka lewati jalan dengan berpegangan tangan, menganyun-ayunkan tangannya bagai anak kecil. Bercanda tawa ketika melewati parit. Hingga sampai disungai yang menggenang memisahkan 2 tebing. Mereka sangat bahagia. Terlalu bahagia untuk menyadari bisik-bisik penduduk yang sedang mencari ikan dengan jala.
“sudah 3 minggu ia begitu terus. Entah kenapa.” Kata seorang penjala ikan.
“kasihan. Kalau saja ia waras, sudah menjadi kembang desa disini.” Sambung seorang penjala lain.
Namun Ayu tak peduli. Lelaki yang sekarang disampingnya, adalah cinta sejatinya. Itu adalah kata di relung hati Ayu. Meski sudah 5 bulan Mandala terkubur bersama para gerilyawan lain, tapi ia akan selalu ada disamping Ayu.
“ Selendang sutera tanda mata darimu. Turut serta didalam baktiku”

Yang Mulia (sebuah puisi mengenang trilogi NKRI)

Telah kami patahkan rantai yang mengikat gerbang ini
Ketika ribuan pemuda menghakimi gedung kura-kura
Dengar 200 juta suara dari mikrofon
Spanduk terus bergelombang, dengan pilox tertulis
KEMBALIKAN NEGERI INI PADA PEMILIKNYA!
Para penyambung lidah rakyat yang berdusta
Berlindung di balik tembok dan aparat yang gagah
Pak, apa anda akan memerangi rakyat sendiri?
Ketika tahun 45, seluruh lapisan berdiri
Hadapi Agresi Militer sampai darah terakhir,
Sungguh kami merapatkan barisan tanpa peduli derajat
Pelor logam hancur oleh bambu runcing
Tahun 66 pancasila hampir runtuh
Tritura berkumandang dari pawai pawai bis
Lalu gugurlah pahlawan berjaket kuning
Yang ditembak dengan peluru dari sumberdaya negeri sendiri
Karena ia menggores kata ADIL diwajah pemimpin dzalim
Tahun 1998 tersusunlah kata REFORMASI, tertulis ditiap sudut jantung negeri
dekapkan telingamu ke tanah
Dan dengar gemuruh kaki berlari
Bukan kaki kuda
Tapi kaki para pemuda yang berperang
Melawan penjajah dari negeri sendiri
yang mengawali gugurnya 4 pahlawan dari Trisakti
Dengan iringan ribuan pelayat dituntun ke rumah terakhir
Merekalah yang berdiri dibarisan pertama
 memimpin kami berperang tanpa senjata
demi mengembalikan kata JUJUR yang sudah lama dikubur

Kamilah pejuang yang mati muda
Agar kembali negeri ini pada semestinya